Selasa, 23 Februari 2010

Harapan dan Kepercayaan Baru Perguruan Tinggi Umum

Rancangan Peraturan Pendidikan (RPP) mengenai Pendidikan Tinggi Kedinasan telah disahkan (Kompas, Senin 8 Februari 2010). Hal ini sesuai dengan peraturan pemerintah yang tercantum dalam pasal 29 UU nomor 20/2003. Memang sangat relevan jika ini diberlakukan mengingat Presiden sudah menandatanganinya beberapa hari yang lalu. Pembentukan peraturan ini juga memerlukan waktu yang lama dengan mengedepankan sebab dan akibat, dan baik buruknya bagi sistem pendidikan tinggi untuk kedepannya. Kita tahu bahwa di Indonesia juga telah banyak memiliki pendidikan tinggi umum baik PTN maupun PTS. Ini merupakan suatu kemajuan sistem pendidikan tinggi, “di dalam perguruan tinggi umum pun juga banyak menawarkan lulusan dengan kompetensi yang dapat dikatakan berkompeten sesuai bidangnya”. Hasil outputnya juga tidak dapat dipandang sebelah mata, siap kerja pada departemen maupun nondepartemen yang ada di Indonesia. Perguruan Tinggi umum juga banyak menyediakan jurusan-jurusan yang relatif sama dengan jurusan-jurusan yang ditawarkan oleh PTK. Kecuali jurusan-jurusan yang bergerak di bidang yang sangat khusus, bidang militer mungkin dapat masuk dalam kategori ini. Kita dapat sedikit menengok pada negara lain, kebanyakan negara-negara tidak memiliki PTK seperti indonesia. Hanya “pendidikan tinggi militer” yang dinaungi departemen khusus pemerintah di bawah badan hukum tertentu yang menanganinya.

Reward bagi PTK
PTK mempunyai keistimewaan, istilah reward dari pemerintah yang tidak dimiliki oleh pendikan tinggi umum lainnya. Pertama, PTK mendapat alokasi pendanaan dari pemerintah sehingga biaya pendidikannya gratis selama berstatus sebagai pelajar PTK. Ada juga PTK yang menawarkan akomodasi tempat tinggal, dan uang saku bulanan bagi mahasiswanya. Ini merupakan salah satu kebijakan pemerintah sebagai usaha perbaikan mutu pendidikan, mengenyampingkan banyaknya pengeluaran pemerintah dalam pemenuhan pendanaan dalam sistem pendidikan. Meskipun tidak semua PTK menerima alokasi pendanaan, tetapi sebagian besar PTK mendapatkan itu. Lebih banyak manfaatnya jika alokasi pendanaan disalurkan untuk keperluan bidang pendidikan lainnya. Mengingat masih banyaknya kebutuhan pendidikan yang belum terpenuhi, dan masalah-masalah pendidikan di Indonesia yang belum teratasi. Kedua, PTK mempunyai tawaran berbagai ikatan dinas bagi outputnya. Meskipun ada juga PTK yang tidak memberikan status ikatan dinas, tetapi hanya sedikit PTK yang tidak menerapkan itu. Seiring pendapat masyarakat yang mempercayai bahwa output PTK pasti memiliki spesifikasi khusus, keunikan, dan lebih berpengalaman dalam bidangnya yang belum dapat dipenuhi oleh perguruan tinggi umum. Ketiga, pencitraan dan penampilan PTK beserta mahasiswanya yang terlihat sangat berwibawa, diperkuat dengan balutan kain, dihiasi oleh simbol-simbol yang melekatinya, agar tampak menarik bagi penggunanya di mata masyarakat dan penguasa. Timbul keraguan juga, apakah semua fasilitas yang diberikan oleh pemerintah tersebut dapat menjadi pemicu untuk menjadikan outputnya lebih baik atau hanya merupakan fatamorgana yang khayal keberadaannya. Mengingat kebanyakan PTK sendiri sangat tertutup, tidak dapat berinteraksi dengan dunia luar (masyarakat) kapanpun ia mau. Bagaimana masyarakat bisa tau perkembangan mahasiswa di dalamnya yang memimpin mereka kelak, jika penyuplai alokasi dana tidak langsung (masyarakat) sendiri tidak pernah berinteraksi kapanpun ia mau. Begitu pula dengan media yang sangat jarang menyoroti proses belajar mengajar dalam tubuh PTK, mungkin karena alasan di atas. Banyak peraturan-peraturan yang mengikat di dalam tubuh PTK, merupakan usaha untuk melatih kedisiplinan menuju proses tanggung jawab. Proses monitorring pun tidak dapat dilakukan dengan maksimal. Anggapan-anggapan baik pun timbul dari realitas bungkus atau sampul tadi. Keempat, apakah benar kedisiplinan dan tanggung jawab yang selalu dipupuk dan dibanggakan, atau atau hanya merupakan sarana melanggengkan suatu tradisi antara mahasiswa senior dan junior yang sebagian banyak juga menyengsarakan si junior. Berakibat pada sulitnya mahasiswa PTK untuk berinteraksi antar sesamanya, berikut juga kurangnya waktu istirahat dan belajar karena waktu tersita hanya untuk mematuhi aturan dan menerima sanksi yang berlaku. Dari sini, apakah output PTK bisa dianggap lebih siap terjun pada departemen dan non departemen yang ada di Indonesia, berangkat dari keunikan, spesifikasi, yang dimiliki oleh PTK? Silahkan, pembaca dapat menyimpulkan sendiri.

Usaha perguruan tinggi umum.
Lain halnya dengan perguruan tinggi umum, kebanyakan hanyalah beasiswa pemerinah dan nonpemerintah sebagai penunjangnya. Perguruan tinggi umum lebih menuntut dan melatih mahasiswanya survive dalam alam terbuka. Kemampuan perguruan tinggi umum untuk lebih terbuka pada masyarakat, masyarakat bebas berinteraksi kapanpun dan dimanapun. Ini merupakan usaha untuk saling bertukar pikiran yang nantinya sangat berguna pada saat output perguruan tinggi umum dipercaya untuk mengabdi pada negara dan menjadi pelayan masyarakat. Tentunya dapat ditingkatkan dengan diklat-diklat lanjutan pada saat akan memasuki dunia kerja pada departemen maupun nondepartemen yang membutuhkan, yang saat ini masih sulit untuk ditemui. Alangkah lebih baiknya jika pemerintah mencoba menerapkan kurikulum yang berdasarkan pelatihan-pelatihan khusus, spesifik, dan bersifat unik pada perguruan tinggi umum sesuai dengan kurikulum yang mungkin unik yang dimiliki PTK. Tentunya pelatihan yang sesuai dengan jurusan yang dimiliki oleh perguruan tinggi umum yang bertujuan untuk menunjang keterampilan agar lebih siap terjun pada masyarakat, maupun departemen dan nondepartemen yang ada di Indonesia. Alokasi danap untuk PT pun dapat diminimalisasi dan dpt disalurkan pada pendidikan lain yang lebih membutuhkan. Dengan RPP PTK yang sudah disahkan oleh presiden yang diatur dalam pasal 29 UU nomor 20/2003, memberikan suplemen baru bagi insan intelektual perguruan tinggi umum dalam menyambut kompetisi dalam memperebutkan lapangan kerja baik dalam departemen maupun nondepartemen. Mendiknas diharapkan bersikap tegas, cepat, dan trengginas dalam kaitannya dengan peraturan tersebut. Tanpa menggunakan waktu yang berlama-lama. Dengan memberikan opsi-opsi yang menunjang yang juga saling menguntungkan antara keduanya. Yakni mengarah dan sesuai dengan isi dari peraturan tersebut “pendidikan yang diakui pemerintah adalah pendidikan profesi, yaitu bentuk pendidikan tinggi setelah program sarjana”. Dengan mengedepankan transparansi, akuntabilias dan responsibility. Demikian juga dengan semua PTK yang ada berangkat dari peraturan yang baru lahir, memandang ke arah progress dalam menyikapinya. Seiring berjalannya waktu, tidak memandang sebelah mata bagi perguruan tinggi umum yang ternyata juga dapat memenuhi tuntutan departemen dan nondepartemen, dan perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah lebih lanjut.

ANGGA DIHARJA FIRDAUS
MAHASISWA FISIP-UNEJ.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar